(Review Kaleng-kaleng) Novel Si Anak Kuat
Halo!
Setelah sekian lama mangkrak di draft berminggu-minggu, akhirnya post ini selesai juga. Kali ini aku mau review sedikit buku karya Tere Liye, Si Anak Kuat. Bukan review beneran sih, cuma sharing aja wkwk.
Buku ini merupakan hadiah dari temen sekelasku selama kuliah, Safira. Kalo dia bilang sih ini bekal wkwk. Yap, aku dapet ini tepat di malam aku berangkat mudik ke bontang. Dia bela-belain dateng 1 jam sebelum aku berangkat, kemudian ngasih seplastik makanan beserta buku ini dan bilang “Nih Fet, buat bekal kamu di jalan”. How cutee
I know it sounds cheesy, but honestly after I broke it open, my eyes suddenly bawled. Sebelum aku buka bungkusnya, aku udah gelisah banget sambil bergumam dalam hati “Yaampun padahal gua ga ultah napa dikadoin segala” (Sumpah, aku takut dan gelisah gak karuan kalo dikasih kado atau disurprisein! Padahal dimana-mana orang pasti seneng ya digituin. Aku sungguh freak).
Aku sudah takut dia bakal nulis surat panjang (like I usually did), tapi ternyata enggak. Cuma buku. Tapi justru buku itulah yang bikin aku nangis begitu baca judulnya: Si Anak Kuat. Entah pesan apa yang ingin dia sampaikan. Dia seakan memberi aku ruang untuk berimajinasi memahami maksud pemberiannya ini. Yang kutangkap, dia ingin aku jadi anak yang kuat seperti Amelia di buku itu.
Aamiin.
Begitu menerima buku itu, tanpa pikir panjang langsung aku bawa sebagai bekal bacaan di perjalanan ke Bontang. Nggak peduli ranselku sudah penuh sesak sama barang-barang mudik, pokoknya harus kubawa daripada nganggur di kosan tak berpenghuni.
Ya, aku suka sekali membaca. Dulu, buku favoritku adalah buku cerpen keluaran majalah Bobo. Tiap beberapa bulan sekali aku selalu bela-belain beli buku itu di Gramedia di Samarinda (karena toko buku terdekat adanya di Samarinda). Menjelang SMA, aku mulai suka baca buku-buku tentang traveling. Dan sekarang aku lebih sering baca tulisan-tulisan di internet, seperti travel blog, e-book, dan artikel apapun.
Niatnya buku itu mau kubaca di perjalanan, tapi nyatanya aku tidur terus wkwkw. Aku cuma sempet baca sekitar lima lembar di Bandara Juanda, setelah itu ngantuk parah dan ujung-ujungnya tidur lagi di waiting room. Ah dasar pelor.
Sampai di rumah pun aku nggak segera melahap habis bukunya, karena memang banyak sekali hal yang dilakukan di rumah kayak sholat tarawih, beli takjil bareng, bikin kue, beberes rumah, dan main sama temen-temen. Akhirnya buku ini baru benar-benar aku selesaikan H+2 lebaran.
Cerita si Amel ini secara nggak langsung cukup related dengan kehidupanku. Tentang anak kecil, yang punya mimpi besar dan memutuskan untuk merantau untuk mewujudkan mimpinya.
Walaupun aku bukan anak bungsu, aku bisa merasakan kehidupan Amel sebagai anak bungsu yang katanya selalu disalahkan dan disuruh-suruh, dan di sisi lain aku juga aku paham bagaimana perasaan Eli sebagai sosok kakak dari adik-adiknya.
Oh iya, Si Anak Kuat ini merupakan buku pertama dari serial Anak Nusantara (dulunya serial Anak-anak Mamak) karya Tere Liye. Serial Anak Nusantara ini menceritakan keempat bersaudara yang punya keunikan masing-masing dan berjuang melawan keterbatasan. Sebelumnya, judul buku serial tersebut dinamai sesuai tokoh utamanya, yakni Amelia, Burlian, Pukat, dan Eliana. Kemudian di re-publish dengan judul Si Anak Kuat, Si Anak Spesial, Si Anak Pintar, dan Si Anak Pemberani. Lalu muncul satu lagi buku berjudul Si Anak Cahaya yang mengkisahkan tentang si Mamak dari keempat bocil-bocil tadi.
Menurutku buku Amelia ini sangat ringan. Maksudku, cerita di dalamnya tidak bertele-tele dan mudah dipahami. Walaupun terdengar sederhana, namun pesan yang ingin disampaikan Tere Liye tetap tersampaikan dengan baik.
Aku bener-bener kagum dengan sosok Amelia di buku tersebut. Semuda itu, dia sudah punya pemikiran yang jauh ke depan dan tentunya brilian. Juga, dia nggak segan untuk mewujudkan “ide-ide gila” di kepalanya. Begitu pula Bapaknya yang tak pernah bosan-bosannya menguatkan, “Kamu anak paling kuat di keluarga ini, Amel. Bukan kuat secara fisik, tapi kuat dari dalam. Kamu anak yang teguh hatinya, paling kokoh dengan pemahaman baik”.
Amel digambarkan sebagai seorang anak kecil yang punya pemahaman lebih dibanding anak-anak lain seusianya. Dia cepat mengerti dan sangat tanggap, bahkan walaupun itu –katakanlah– masalah kompleks pada orang dewasa. Dia benar-benar menginspirasi. Entah apakah di dunia nyata ada anak seusianya yang punya pemikiran dan gebrakan sehebat Amelia. Tapi aku yakin pasti ada.
Mengambil latar belakang di pelosok desa, Tere Liye tidak menyebutkan secara jelas nama desa, kota, atau bahkan pulau yang menjadi latar cerita Amelia. Akan tetapi, dilhat dari budaya-budaya di dalamnya serta menilik biografi sang penulis itu sendiri, aku pastikan sesanya berada di daerah Sumatera Selatan.
Salah satu hal yang clueless dari buku si Anak Kuat ini adalah di buku ini tidak dijelaskan secara gamblang sebenernya Amel ini duduk di kelas berapa. Entah Tere Liye sengaja menutupi atau bagaimana, namun menurutku, mengetahui usia Amel ini cukup penting waktu memahami cerita. Kalo nggak tahu umur si tokoh utama, kita jadi nggak bisa membayangkan dengan jelas bagaimana sosok hingga ekspresi tokoh tersebut, kan? Apalagi cerita ini ditekankan pada sebutan anak bungsu. Iya sih anak bungsu, tapi anak bungsu yang umurnya berapa dulu?
Ada beberapa petunjuk yang menurutku masih kurang berhubungan (atau mungkin akunya yang terlalu bodoh untuk memahaminya). Di dalam buku itu, dijelaskan bahwa Kak Eli sedang duduk di kelas 6. Mudahnya, dengan hitungan empat bersaudara tersebut maka Amel setinggi-tingginya berada di kelas 3 SD (bisa kelas 2 SD, atau lebih rendah lagi).
Akan tetapi, setelahnya sempet dijelaskan lagi ketika Bapak tengah bercerita tentang kejadian dua tahun lalu saat Amel berusia 8 tahun. Jadi, apa sebenarnya Amel ini kelas 4 SD? Aku agak bingung menggabungkan petunjuk-petunjuk di buku itu. Lain lagi ceritanya kalau ternyata Pukat dan Burlian ternyata satu angkatan. Intinya sih memang kurang lengkap kalo hanya membaca satu seri. Mungkin harus baca lagi keempat buku sisanya supaya nggak clueless.
Lho kok jadi cerita panjang lebar tentang usia Amelia wkwk. Tapi serius, aku penasaran dari awal membaca buku itu.
Keseluruhan, buku ini menginspirasi sekali. Buku ini cocok kamu baca sambil mengisi waktu kosong, seperti menunggu antrian ataupun di tengah perjalanan, karena memang nggak butuh konsentrasi tingkat tinggi. Kamu nggak akan pusing memecahkan masalah seperti di novel detektif Sherlock Holmes, haha.
Namun setelah aku selesai membaca buku ini, aku menyadari sesuatu. Aku nggak sekuat Amelia, dan entah apakah bisa.
Maaf.
Setelah sekian lama mangkrak di draft berminggu-minggu, akhirnya post ini selesai juga. Kali ini aku mau review sedikit buku karya Tere Liye, Si Anak Kuat. Bukan review beneran sih, cuma sharing aja wkwk.
Buku ini merupakan hadiah dari temen sekelasku selama kuliah, Safira. Kalo dia bilang sih ini bekal wkwk. Yap, aku dapet ini tepat di malam aku berangkat mudik ke bontang. Dia bela-belain dateng 1 jam sebelum aku berangkat, kemudian ngasih seplastik makanan beserta buku ini dan bilang “Nih Fet, buat bekal kamu di jalan”. How cutee
It's not my birthday, but yay I'm happy and very thankful for it! |
I know it sounds cheesy, but honestly after I broke it open, my eyes suddenly bawled. Sebelum aku buka bungkusnya, aku udah gelisah banget sambil bergumam dalam hati “Yaampun padahal gua ga ultah napa dikadoin segala” (Sumpah, aku takut dan gelisah gak karuan kalo dikasih kado atau disurprisein! Padahal dimana-mana orang pasti seneng ya digituin. Aku sungguh freak).
Aku sudah takut dia bakal nulis surat panjang (like I usually did), tapi ternyata enggak. Cuma buku. Tapi justru buku itulah yang bikin aku nangis begitu baca judulnya: Si Anak Kuat. Entah pesan apa yang ingin dia sampaikan. Dia seakan memberi aku ruang untuk berimajinasi memahami maksud pemberiannya ini. Yang kutangkap, dia ingin aku jadi anak yang kuat seperti Amelia di buku itu.
Aamiin.
Begitu menerima buku itu, tanpa pikir panjang langsung aku bawa sebagai bekal bacaan di perjalanan ke Bontang. Nggak peduli ranselku sudah penuh sesak sama barang-barang mudik, pokoknya harus kubawa daripada nganggur di kosan tak berpenghuni.
Ya, aku suka sekali membaca. Dulu, buku favoritku adalah buku cerpen keluaran majalah Bobo. Tiap beberapa bulan sekali aku selalu bela-belain beli buku itu di Gramedia di Samarinda (karena toko buku terdekat adanya di Samarinda). Menjelang SMA, aku mulai suka baca buku-buku tentang traveling. Dan sekarang aku lebih sering baca tulisan-tulisan di internet, seperti travel blog, e-book, dan artikel apapun.
Niatnya buku itu mau kubaca di perjalanan, tapi nyatanya aku tidur terus wkwkw. Aku cuma sempet baca sekitar lima lembar di Bandara Juanda, setelah itu ngantuk parah dan ujung-ujungnya tidur lagi di waiting room. Ah dasar pelor.
Sampai di rumah pun aku nggak segera melahap habis bukunya, karena memang banyak sekali hal yang dilakukan di rumah kayak sholat tarawih, beli takjil bareng, bikin kue, beberes rumah, dan main sama temen-temen. Akhirnya buku ini baru benar-benar aku selesaikan H+2 lebaran.
Cerita si Amel ini secara nggak langsung cukup related dengan kehidupanku. Tentang anak kecil, yang punya mimpi besar dan memutuskan untuk merantau untuk mewujudkan mimpinya.
Walaupun aku bukan anak bungsu, aku bisa merasakan kehidupan Amel sebagai anak bungsu yang katanya selalu disalahkan dan disuruh-suruh, dan di sisi lain aku juga aku paham bagaimana perasaan Eli sebagai sosok kakak dari adik-adiknya.
Oh iya, Si Anak Kuat ini merupakan buku pertama dari serial Anak Nusantara (dulunya serial Anak-anak Mamak) karya Tere Liye. Serial Anak Nusantara ini menceritakan keempat bersaudara yang punya keunikan masing-masing dan berjuang melawan keterbatasan. Sebelumnya, judul buku serial tersebut dinamai sesuai tokoh utamanya, yakni Amelia, Burlian, Pukat, dan Eliana. Kemudian di re-publish dengan judul Si Anak Kuat, Si Anak Spesial, Si Anak Pintar, dan Si Anak Pemberani. Lalu muncul satu lagi buku berjudul Si Anak Cahaya yang mengkisahkan tentang si Mamak dari keempat bocil-bocil tadi.
Menurutku buku Amelia ini sangat ringan. Maksudku, cerita di dalamnya tidak bertele-tele dan mudah dipahami. Walaupun terdengar sederhana, namun pesan yang ingin disampaikan Tere Liye tetap tersampaikan dengan baik.
Aku bener-bener kagum dengan sosok Amelia di buku tersebut. Semuda itu, dia sudah punya pemikiran yang jauh ke depan dan tentunya brilian. Juga, dia nggak segan untuk mewujudkan “ide-ide gila” di kepalanya. Begitu pula Bapaknya yang tak pernah bosan-bosannya menguatkan, “Kamu anak paling kuat di keluarga ini, Amel. Bukan kuat secara fisik, tapi kuat dari dalam. Kamu anak yang teguh hatinya, paling kokoh dengan pemahaman baik”.
Amel digambarkan sebagai seorang anak kecil yang punya pemahaman lebih dibanding anak-anak lain seusianya. Dia cepat mengerti dan sangat tanggap, bahkan walaupun itu –katakanlah– masalah kompleks pada orang dewasa. Dia benar-benar menginspirasi. Entah apakah di dunia nyata ada anak seusianya yang punya pemikiran dan gebrakan sehebat Amelia. Tapi aku yakin pasti ada.
Mengambil latar belakang di pelosok desa, Tere Liye tidak menyebutkan secara jelas nama desa, kota, atau bahkan pulau yang menjadi latar cerita Amelia. Akan tetapi, dilhat dari budaya-budaya di dalamnya serta menilik biografi sang penulis itu sendiri, aku pastikan sesanya berada di daerah Sumatera Selatan.
Salah satu hal yang clueless dari buku si Anak Kuat ini adalah di buku ini tidak dijelaskan secara gamblang sebenernya Amel ini duduk di kelas berapa. Entah Tere Liye sengaja menutupi atau bagaimana, namun menurutku, mengetahui usia Amel ini cukup penting waktu memahami cerita. Kalo nggak tahu umur si tokoh utama, kita jadi nggak bisa membayangkan dengan jelas bagaimana sosok hingga ekspresi tokoh tersebut, kan? Apalagi cerita ini ditekankan pada sebutan anak bungsu. Iya sih anak bungsu, tapi anak bungsu yang umurnya berapa dulu?
Ada beberapa petunjuk yang menurutku masih kurang berhubungan (atau mungkin akunya yang terlalu bodoh untuk memahaminya). Di dalam buku itu, dijelaskan bahwa Kak Eli sedang duduk di kelas 6. Mudahnya, dengan hitungan empat bersaudara tersebut maka Amel setinggi-tingginya berada di kelas 3 SD (bisa kelas 2 SD, atau lebih rendah lagi).
Akan tetapi, setelahnya sempet dijelaskan lagi ketika Bapak tengah bercerita tentang kejadian dua tahun lalu saat Amel berusia 8 tahun. Jadi, apa sebenarnya Amel ini kelas 4 SD? Aku agak bingung menggabungkan petunjuk-petunjuk di buku itu. Lain lagi ceritanya kalau ternyata Pukat dan Burlian ternyata satu angkatan. Intinya sih memang kurang lengkap kalo hanya membaca satu seri. Mungkin harus baca lagi keempat buku sisanya supaya nggak clueless.
Lho kok jadi cerita panjang lebar tentang usia Amelia wkwk. Tapi serius, aku penasaran dari awal membaca buku itu.
Keseluruhan, buku ini menginspirasi sekali. Buku ini cocok kamu baca sambil mengisi waktu kosong, seperti menunggu antrian ataupun di tengah perjalanan, karena memang nggak butuh konsentrasi tingkat tinggi. Kamu nggak akan pusing memecahkan masalah seperti di novel detektif Sherlock Holmes, haha.
Namun setelah aku selesai membaca buku ini, aku menyadari sesuatu. Aku nggak sekuat Amelia, dan entah apakah bisa.
Maaf.
Comments
Post a Comment
Apa pendapat kamu? Yuk sharing! :)