The Untold Story

Bagi sebagian orang, covid-19 hanya sekedar topik yang viral di bulan april mei. Buktinya, sekarang ketika kurva justru semakin tinggi orang-orang yaudah selow aja. Tapi jujur emang capek juga sih dijejali hal-hal yang sama selama berberapa bulan ini. Walaupun gitu, kita kudu tetep waspada ya gaes!

Kali ini aku mau cerita sedikit tentang pengalamanku agustus-september kemarin. Awalnya aku berniat menutup buku itu rapat-rapat dan buka lembaran baru, tapi kayaknya cerita ini layak dikenang hahaha. Selain itu, aku mau meyakinkan orang kalau covid itu bukan aib. Dan semoga cerita ini bisa jadi pelajaran untuk kita semua.

Awalnya covid bagiku merupakan virus yang jauh di luar sana. "Ah, itu kan di Tiongkok", "Ah itu di Jakarta, Bontang mah aman". Soalnya memang aku belum pernah nemuin orang yang positif di circle ku.

Aku mulai agak panik ketika ada tetangga yang positif. Lalu bertambah lagi, bertambah lagi makin dekat. Yang awalnya tetangga agak jauh, sekarang tetangga dekat juga mulai kena. Seakan akan virusnya mengendap-ngendap mendekat ke arahku, seriusan wkwkwk.

Dari situ, aku tahu kalo virus ini nyata adanya.
Awal Agustus, kami sekeluarga ikut screening tes swab karena di lingkungan kami mulai banyak yang positif. Aku udah menyiapkan kemungkinan terburuk misalnya aku ternyata positif. "Gapapa fet, gapapa. Toh kalo bener positif  ntar nginepnya di hotel jadi anggep aja staycation." kataku menenangkan diri.

Lalu beberapa hari kemudian, pagi-pagi ayah ditelpon dan diberi tahu kabar kurang menyenangkan. Bukan aku, bukan ayah atau ibuku, tapi si bontot. Suasana rumah mendadak berubah jadi chaos alias kacau balau. Ibu nangis, ayah bingung, aku panik, adek gelisah. Walaupun sudah mempersiapkan segala kemungkinan terburuk, tapi tetep aja syok denger kabar ini.

Kami semua langsung pake masker dan berunding.
Setelah pertimbangan panjang, akhirnya kakakku lah yang nemenin si adik untuk isolasi.

Mereka dapet tempat isolasi di Bungalow Equator. Alhamdulillah, rumah isolasinya sangat manusiawi sekali. Uenak pol, semua kebutuhan hidup disuplai, konsumsi di sana juga terjamin. Makan disediain 3x sehari, kadang dapet jus, tiap hari dapet jatah 2 kaleng susu, dan tiap beberapa hari dapet parsel isinya buah, roti, vitamin, teh, kopi, madu, dan banyak lagi.

Lha kenapa makmurnya ngalahin kita-kita yang di rumah ya? Wkwk. Udah lah intinya selama karantina mereka cuma disuruh makan dan istirahat supaya cepet sehat.

Lalu karena kami sekeluarga termasuk kontak erat, kami langsung disuruh karantina mandiri dan tes lagi. Aku kira swab test bakal jadi "once in a lifetime experience" buatku, ternyata enggak wkwk.

Buat temen-temen yang belum pernah swab test, I told you, it was an unpleasant experience wkwk. Aduh bayangin hidung sama tenggorokan dimasukin semacam cottonbud panjang sampe dalem itu ngilu ngilu geli, wkwk.

Waktu yang cukup berat adalah minggu-minggu pertama adik diisolasi. Kami jadi nggak bisa ngumpul satu rumah. Ayah dirumahkan sementara. Kami semua gak boleh keluar keluar karena harus karantina mandiri.

Aku lumayan panik juga. Pagi pagi pilek, aku panik. Mendadak bersin-bersin, aku juga panik. Wkwk alay sih, tapi ya gimana ya. Ketika adikku yang notabene serumah dikonfirmasi positif, kemungkinan besar virusnya ada di antara kami juga. Bisa aja kami pembawa virusnya, tapi nggak bergejala. Apalagi hasil tes tracingnya belum keluar.

Is that you rona

Fyi, kluster pertama di Bontang adalah kluster PKT. Bukan satu dua orang, tapi langsung ratusan yang terkonfirmasi dalam seminggu itu. Jangan ditanya, banyaakk banget hujatan kepada orang-orang yang positif waktu itu, dan juga kepada perusahaan. Dibilang pembawa virus, sumber penyakit, nggak bener menjalankan protokol, dan banyak lagi. Aku sebagai orang yang hidup di tengah-tengah lingkungan tersebut tentu sedih, marah, dan bingung.

Padahal, menurutku pkt nggak main-main urusan penanganan covid. Begitu ada orang yang terkonfirmasi positif lalu jadi kluster pertama di Bontang, semua karyawan dan keluarganya langsung dites swab dalam waktu kurang dari seminggu. Bukan rapid lho, tapi swab. Dalam waktu seminggu tersebut, pkt udah ngelakuin screening swab test 4600++ spesimen. Goks.

Waktu itu aku heran, kenapa sih bela-belain banget buat swab test massal? Padahal kalo dipikir, semakin banyak karyawan yang di swab maka makin banyak pula yang terkonfirmasi positif dan harus karantina. Kalo karantina, mungkin sebagian bisa wfh tapi bagian pabrik bakal kehilangan banyak personelnya. Udah gitu, menyediakan rumah isolasi bagi pasien positif tanpa gejala juga merupakan langkah yang nggak biasa. Kok bisa seniat itu ya?

Nyatanya, pkt mengeluarkan semua effort ini bukan sekedar untuk menyembuhkan pasien covid, tapi juga untuk memutus rantai penularan agar Bontang lebih bebas dari virus sialan ini.

Lambat laun, kita dan masyarakat lain jadi sadar. Tindakannya untuk screening swab secara masif bukan sekedar menambah jumlah kasus di Bontang, tapi untuk memperlihatkan apa yang nggak terlihat. Data tersebut seolah membuka mata hati kita yang selama ini berpikiran bahwa "Ah Bontang aman kok, kemarin aja udah zero case"
Ternyata setelah ditelusuri, banyak juga kan yang terkonfirmasi positif? 

Setelah cacian dan makian kemarin, kini berganti menjadi respek dan apresiasi karena tindakannya yang sigap dan serius dalam memutus rantai penyebaran covid-19.

Dan setelah sebulan dari kabar buruk tadi, akhirnya si adik dinyatakan sembuh jadi udah boleh pulang ke rumah. Senangnya bukan main. Hari-hari pertama si adik pulang kami masih harus jaga jarak dan tentunya jaga kesehatan. Syukurlah sampe sekarang kami sehat dan semoga udah nggak membawa virus.

Sekarang kami udah selow aja denger kabar orang-orang positif. Udah nggak parno, udah nggak menutup diri. Saranku, ketika di lingkungan kalian ada yang suspek atau terkonfirmasi positif, bantu mereka penuhin kebutuhan sehari-harinya. Kasih dukungan moriil. Dengan begitu, kita bisa bantu memutus rantai penyebaran karena si doi gak perlu keluar keluar cari makan lagi.

Akhirnya kita sama-sama menyadari, menjaga kesehatan itu nggak ada efek buruknya kok. Mungkin awal-awal nggak terbiasa, lama-lama sadar juga kalo ini untuk kebaikan kita.

Kita yang (terlihat) sehat ini nggak harus tes swab mandiri kok (kecuali untuk kepentingan syarat perjalanan), karena harga swab lumayan merogoh kocek. Cukup terapkan tips paling ampuh dan no debat, yakni 3M. mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Udah itu aja yang paling penting. Karena kita nggak tahu virus itu ada dimana aja. Bisa saja aku atau kalian yang membawa virus ini.

Aku percaya, masih ada jutaan orang baik yang terus mengalirkan doa dan tak henti berjuang memerangi virus ini.

Untuk kalian yang lagi baca tulisan ini, jaga kesehatan ya! Untuk kebaikanmu sendiri, dan juga untuk orang-orang yang kamu sayangi. Kita ketemu setelah keadaannya membaik, ya? :)

See you tomorrow!

Comments