A Skripsht Story

Halo!

Well, akhirnya sebagian keluh kesahku beberapa tahun ini berhasil aku tuliskan dalam kata-kata. Kali ini aku akan bercerita tentang perjalananku selama kurang lebih dua tahun mengerjakan tugas akhir demi mendapatkan gelar S.TP. I've been writing this since... idk, last December maybe? Di tengah pengerjaan skripsi dan bacain referensi kala itu, aku selalu menyempatkan untuk nyicil nulis cerita-cerita "nggak penting" tentang perjalananku ini. Karena menurutku selain ijazah dan bendel skripsi, cerita-cerita ini lah yang bisa jadi harta karun yang aku bawa sampai tua nanti.

Sebelumnya aku mau bilang, kalau ternyata teknologi pangan bukan passionku. Passionku adalah... nggak tahu (dibilang desain juga kayaknya nggak). Sampai sekarang aku belum menemukan. Iya masa depanku memang suram, aku akui wkwk. Aku jadi teringat kalimat dari Adis yang persis menggambarkan kondisiku juga:



Btw bulan lalu dia baru saja melaksanakan sidang online, yay! Congrats for her :))

Skripsi adalah 6 sks terlama sepanjang kuliahku di strata satu. Aku kadang sampe bertanya-tanya, kenapa sih matkul ini beban banget? Padahal cuma 6 sks. Kalo menurut anak THP, matkul 6 sks itu nggak ada apa-apanya. Masih buanyak mata kuliah yang lebih dari 6 sks, kayak Dasar-dasar THP (9 sks), AHP (8 sks), Prinsip Teknik PHP (8 sks), Perkebunan Hulu (8 sks), Perkebunan Hilir (8 sks), dan banyaak lagi.

Kalo aku boleh milih, mungkin aku bakal ngambil matkul hilir yang 8 sks tapi satu semester langsung kelar. Nggak kayak ini, cuma 6 sks tapi stresnya gak kelar-kelar wkwk.

Dulu, teknologi pangan bukan jurusan yang lazim diambil kala itu. Aku lihat semua temanku mengambil jurusan-jurusan yang lebih keren seperti kedokteran, teknik, farmasi, atau hukum. Berbeda dengan aku yang harus membuat orang lain menatap heran dulu sambil bertanya, "Tentang apa tuh? Masak-masak?"

Dan yang bikin lebih nggak keren lagi, nama jurusan di kampusku adalah Teknologi Hasil Pertanian. Embel-embel kata pertanian membuat semua orang –bahkan orang tuaku– menyangka aku ini anak pertanian. Susah payah aku menjelaskan kalau THP ini beda dengan pertanian, tapi biasanya sia-sia.

(Tapi gak apa lah, daripada disangka jurusan masak-masak. Soalnya aku gabisa masak haha)

Pernah suatu hari di KKN, kita kumpul bareng kelompok tani sampai seorang warga berkata begini pada kami, "Dik lusa kami ada acara pertemuan kelompok tani, mungkin adik-adik yang dari jurusan pertanian bisa hadir dan memberi materi misalnya tentang budidaya tanaman, atau tentang penyuluhan pertanian." Aku, Say, dan Amel saling menoleh satu sama lain dengan muka bingung karena sebenarnya di antara kami nggak ada yang jurusan pertanian dan belajar seputar materi yang diminta bapak tadi wkwk.

* * *

Di semester akhir tepatnya saat matkul MIKI, kami sudah diwanti-wanti untuk segera menyiapkan judul proposal skripsi. Saat itu mulai banyak informasi dan tawaran proyek dari berbagai dosen dengan berbagai macam topik. Di saat belum punya gambaran skripsiku mau dibawa kemana, tentu tawaran proyek kala itu cukup menarik. Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut proyek dosen bersama 10 teman lain.

Di sini lah petualangan dimulai.

* *

Proses penelitianku berjalan cukup lama. Sekitar satu tahun lebih. Bukan bermaksud membandingkan dengan orang lain, tapi tanpa dibandingkan pun aku sendiri merasa cukup lama wkwk.

Liburan semester 6 atau sekitar Juli 2018 kami sudah mulai masuk lab. Trial sana sini, optimasi dengan formula ini itu, juga konsul tak berkesudahan. Kami merelakan waktu KKN kami ditunda untuk ngelab. Setelah anak-anak KKN periode II pulang, kami juga masih ngelab. Temen-temen berangkat magang berbulan-bulan, kami masih ngelab. Sampe temen-temen lain udah sempro bahkan semhas, kita juga masih ngelab.

Di situ keteguhan hati dan kesabaranku diuji. Haha.

Setelah tiga bulan optimasi di lab, akhirnya kita baru benar-benar mulai membuat sampel untuk pengujian pada bulan Oktober. Proses pembuatan sampel pun nggak memakan waktu sebentar, tapi sekitar satu bulan. Di satu bulan itu kami sampe bagi shift untuk ngelab. Ada yang pagi jam 5 sudah harus persiapan bahan, ada yang nunggu di lab seharian, ada yang malam-malam menunggu oven sampai jam 11 malam.

Ngelihat diriku sendiri yang merasa sudah banyak berjuang tapi tidak ada kemajuan dibanding teman-teman, rasanya kecewa. Entah kecewa sama siapa.

* * *

Semakin hari, skripsi makin membuat insecure. Aku yakin hampir semua orang melewati fase ini. Setelah kemarin 3 tahun kuliah bersama-sama dan menempuh studi yang sama, mungkin aku lumayan "kaget" waktu mengerjakan skripsi yang bersifat individu. Kita yang biasa berjalan beriringan, kali ini disuruh berjalan sendiri-sendiri. Kita belum terbiasa melihat teman sejawat kita merangkak di belakang kita, atau malah berlari mendahului kita.

Pernah di suatu titik dimana aku bener-bener jenuh dengan semuanya, aku langsung buka traveloka dan cari-cari tiket. Dalam hati aku bilang “Persetan dengan skripsi. Persetan dengan jarak dan harga tiket pesawat yang selangit. Persetan dengan semuanya. I will go home, anyway.” Tapi setelah aku waras lagi, aku tersadar. Aku gabisa semudah itu pulang. Masih banyak tanggungan yang harus dikerjakan, masih banyak waktu yang harus dikorbankan.

Saat aku nggak pernah pulang di tahun 2018, orang tua sering sekali bertanya “Mbak kapan pulang?”. Bahkan hampir tiap hari. Papa dan mama selalu maklum kalo aku belum bisa pulang, dan bilang “Yaudah mbak, diselesaikan dulu aja urusan kuliahnya.” walaupun mungkin mereka juga kecewa. Tapi yang paling aku nggak kuat adalah ketika bocah gendut a.k.a Rasyid udah meminta kakaknya pulang. Ah, aku paling nggak tega ninggalin dia sendirian di rumah. Seharusnya seumur dia itu punya sosok kakak yang jadi teman, panutan, dan teladan buat adeknya. Tapi apalah aku yang nggak bisa jadi sosok kakak yang baik, malah hilang gak balik-balik ini.

Dulu aku sampai malu selalu menjawab “Maaf ma aku belum bisa pulang, aku masih belum ada jadwal kosong”. Seenggak bisa itu kah aku meluangkan waktu?

* * *

Dulu kami bersebelas berjalan sendiri-sendiri. Walaupun kami satu proyek dan bekerja di lab yang sama, kami jarang mengurusi progres orang lain. Semuanya fokus ke urusan masing-masing. Mungkin cuma sesekali bertukar tawa, mencairkan suasana laboratorium yang dingin.

Sampai suatu hari, masalah datang.

Masalah ini baru terasa ketika kita berada di penghujung kuliah yakni semester 8 dan semester 9. Susahnya bimbingan, revisi data yang tak berkesudahan, tulisan yang tak kunjung di acc, antri bimbingan yang tak ada habisnya, dan banyak lagi. Tapi nggak bisa dipungkiri, masalah ini lah yang justru membuat kita semakin dekat. Kita jadi saling menguatkan. Apa-apa diselesaikan bersama. Sampai akhirnya kita jadi saling tahu progres dan masalah masing-masing. Dan yang penting, saling membersamai hingga tetes keringat terakhir.

Kita pernah saling berdialog beberapa kali. Yang aku ingat di Armor, di kampus, di kantin, dan tempat-tempat makan lain. Itu adalah kali pertama kita saling bercerita tentang masalah masing-masing. Rasanya melegakan sih, bisa mempunyai teman yang sepenanggungan. Seenggaknya walaupun kamu dalam kesusahan, kamu nggak sendirian.

Kalau ketemu di lab, spontan kita langsung mengabsen satu-satu. Putri hari ini dateng? Aqe gimana kabarnya? Safira mana? Lusi sudah dapet acc? Sepuluh anak diabsen satu-satu untuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja.

* * *

Ada dua hal yang paling terasa mudah ketika mengerjakan skripsi: mengeluh dan menyerah.

Mudah saja kita mengeluhkan hal-hal yang nggak penting. "Dosennya susah banget sih mau ditemui buat bimbingan". Begitu udah bisa ditemui dan naskah dikumpulkan, "Duh dosennya lama banget sih ngoreksinya". Begitu koreksi dari dosen sudah selesai, kita masih aja mengeluh. "Banyak banget sih revisinya, gak kelar-kelar". Ngerjakan revisian beberapa menit, ngeluhnya berjam-jam. Merasa jadi orang yang paling berat cobaannya.

Kadang kita merasa lebih lega kalo sudah sambat, padahal sebenernya cuma buang-buang tenaga.

Dan yang lebih parah lagi adalah ketika sudah masuk ke fase "menyerah". Sedikit salah kata atau salah sikap dari teman atau dosen, atau perasaan tidak dihargai yang tiba-tiba muncul bisa membuat kita jatuh terjerembab. Mungkin lubuk hati kita tidak benar-benar menyatakan kalo kita menyerah, namun kita menyerah dengan berhenti menemui dosen. Kita menyerah dengan tidak berangkat ke kampus. Kita menyerah dengan tidak menghasilkan progress apa-apa. Kita menyerah dengan menyangkal bahwa aku nggak akan bisa sehebat teman-temanku.

Yap. Aku juga pernah kok di fase itu.

Ada sebuah kutipan yang pernah kubaca dari sebuah blog temannya teman, yang sering kali terngiang-ngiang ketika aku terlena dengan nikmatnya mengeluh.

"Keluhan seperti jeratan laba-laba, semakin kita meronta dan bergerak dalam keabsurdan tujuan, kita akan semakin terjerat. Mungkin kita harus memutuskan jaring keluhan satu demi satu. Perlu juga sedikit rasa tenang dalam melakukannya. Sulit mungkin iya, tapi berusahalah."

Ya, semakin kamu mengeluh, kamu akan semakin terjerat.

* * *

Dulu aku pernah marah sekali waktu ada temanku di lain fakultas yang sudah lebih dulu sidang, kemudian selalu membesar-besarkan perjuangannya mengerjakan skripsi, dan merasa cobaan skripsinya paling berat. Di tengah kacaunya skripsiku waktu itu, topik obrolan kaya gitu jelas tidak tepat untuk dibicarakan.

"Sumpah sih skripsiku drama banget kemarin" lalu dia melanjutkan, "Coba dulu kita rajin ya fet, pasti cepet aja selesainya". Dalam hati aku ingin mengumpat, "b4ng54t, skripsiku lama bukan karena males anj1n9. Belum pernah ngerasain ngelab 1,5 tahun ya?"

Entah mungkin waktu itu egoku masih terlalu tinggi. Seharusnya aku nggak perlu marah.

* * *

Momen jatuh bangun bagi kita adalah hal yang sangat biasa. Ada masanya di mana kita masih semangat banget buat penelitian. Kita berangkat ke kampus penuh percaya diri, masih bisa bercanda gurau di lab. Ada masanya juga kita mulai lelah, satu-persatu mulai hilang. Bukan lelah fisik, melainkan lelah mental wkwk.

Ada masanya di mana kita bertengkar hebat, bahkan sampai nggak saling bertegur sapa. Rasanya waktu itu otak sudah bener-bener lelah sampai kita gampang tersulut emosi. Kita jadi mudah diadu domba, padahal harusnya kita tau kalo kita semua sedang menghadapi masalah yang sama.

Dan ada masanya pula ketika kita saling berdamai. Nggak hanya dengan sesama, tapi juga berdamai dengan keadaan. Satu persatu mulai kembali bangkit, tawa dan obrolan hangat mulai kembali meramaikan suasana.

Hampir dalam beberapa kurun waktu, fase itu selalu terulang. Satu hari suasana di lab bisa sangat menyenangkan, satu hari suasana bisa jadi sangat dingin. Bahkan mungkin ada hari di mana justru aku yang menghilang dari lab.

Fyi, Safira dan Putri yang aku kenal bukanlah orang yang gampang menyerah. Justru, aku sendiri lah yang sukanya malas-malasan wkwk. Tapi semenjak memasuki semester akhir kemarin, mereka nggak seceria biasanya dan jadi lebih sering menyendiri. Aku melihat perbedaan sikapnya setelah bertubi-tubi "diserang" tugas akhir. 

Entahlah, tapi kadang aku berpikir: apakah justru semangatku yang membuat mereka kehilangan semangatnya? Karena sering kali kuamati, ketika aku sedang semangat semangatnya, justru teman-temanku hilang satu persatu. Apakah aku mengambil energi positif dari orang lain? Apakah aku salah?

* * *

Salah satu momen yang menjadi titik balik pengharapanku adalah ketika Firas memutuskan untuk mengganti judul, memulai skripsi baru mulai dari nol.

Waktu itu malam hari, dunia sedang tenang-tenangnya sampai tiba-tiba Firas berkata, "Iya Fet, aku mau ganti judul skripsi sekarang". DUARR. Informasi singkat di sela deru motor saat itu seolah menjadi tamparan keras buatku. Apakah aku salah dengar?

Awalnya aku merasa sangat denial. Dalam pikiran luguku, I thought we're supposed to be together until the end. Dia nggak seharusnya menyerah dan merelakan satu tahun pengerjaan skripsi dan sempronya sia-sia. Namun kemudian dia memberikan alasan dan penguatan yang jelas, berikut dengan rencana dan garis waktunya selama satu semester ke depan. Rencananya begitu matang, dia bener-bener memperhitungkan plus dan minusnya jika ia tetap lanjut dengan proyek lamanya atau memilih memulai lagi dari awal. Menargetkan diri kapan ia harus selesai bab 1, kapan harus sempro, sampai kapan harus semhas. Aku yang awalnya kurang setuju, setelah dijelaskan panjang lebar menjadi lebih membuka pikiran.

Obrolan malam Senin kala itu membuatku sadar. Definisi bersama-sama berjuang sampai akhir tidaklah harus berjuang di jalan yang sama. Dan dengan keluarnya Firas dari proyek bukan berarti ia menyerah, melainkan mencari jalan lain yang lebih baik walau harus memutar.

Now I'm 100% support. And I'm proud of her.

Akhirnya semenjak itu aku punya keberanian untuk menanyakan hal yang sama juga kepada diriku sendiri. Kamu mau mundur sekarang, atau menyelesaikan apa yang harus kamu selesaikan? Karena tidak ada pilihan untuk diam di tempat.

Dan aku memilih lanjut.

* * *

Ada cerita menarik yang terbongkar belakangan lalu. Kalo kalian tahu, proyek DPU-ku di tahunku adalah proyek dengan mahasiswa terbanyak dibanding angkatan-angkatan di atas maupun di bawahku. Biasanya proyek DPU-ku cuma berisi sekitar empat orang, nah angkatanku berisi sebelas orang! Wkwk gokil.

Beberapa waktu lalu ketika sedang antri bimbingan, kami ngobrol macam-macam dan akhirnya masuk ke topik ini, "Rek, kalian kok mau sih masuk proyek ini? DPA kalian lo bukan beliau. Kenapa kalian dengan sukarela masuk ke proyek ini coba?"

Kemudian kita saling bercerita alasan masing-masing, lalu kita tertawa. Lucu rasanya mengingat-ngingat "pilihan lugu" yang kita ambil di persimpangan jalan hidup waktu itu. Mungkin kalau waktu itu kita nggak ngambil jalan ini, kita mungkin sudah lulus cumlaude, atau bahkan sudah dapat kerja. Tapi aku paham. kalo aku nggak ngambil jalan ini, aku nggak bakal dapet pelajaran berharga kaya gini, dan aku nggak bakal bisa sedekat ini dengan teman-temanku sekarang.

Intinya? Bersyukur, jangan ada yang disesali. Allah Maha Tahu apa yang terbaik buat kita.

* * *

Aku teringat obrolan dengan Anita di Lenquas tahun lalu. Dia bercerita tentang kehidupan koasnya yang penuh suka duka. Setelah bercerita panjang lebar, dia menutup ceritanya dengan konklusi sederhana tapi cukup mengena:

"Tapi yaudah sih. Daripada nggak ikhlas, mending ikhlas to?"

Awalnya kalimat itu benar-benar nggak masuk akal bagiku, tapi lama-kelamaan aku menjadi paham. Kejadian itu sudah berlalu. Tinggal bagaimana kita menyikapi kejadian itu. Kalau kita nggak ikhlas, selamanya kita bakal terbelenggu dalam dendam yang nggak bakal mengubah keadaan. Nggak bakal ada manfaatnya, justru menambah pikiran. Sebaliknya kalau kita memutuskan untuk ikhlas, lebih banyak pelajaran dan kelapangan dada yang kita dapatkan.

Aku juga sempat mengutip kalimat dari Tiwuk yang seperti biasa sangat deep and wise:

"Nggak ada yang perlu disesali dari perjalanan yang sudah kamu putuskan sendiri. Percaya aja bahwa di setiap langkah pasti banyak pembelajaran berarti. Mungkin rasanya cukup sesak untuk diingat lagi, tapi tidak untuk disesali.

Nanti kita akan mengerti. Kita nggak akan jadi seperti sekarang kalo dari awal nggak pilih jalan ini."

Kata-kata dari mereka bener-bener mengajariku untuk lebih memaknai hidup.

* * *

Sekarang, cobaan kembali datang. Yap, pandemi covid-19. Dulu aku sedih sekali membayangkan perjalanan skripsi yang harusnya tinggal selangkah lagi harus tertunda karena pandemi ini. Kegiatan seolah berhenti namun waktu tak pernah berhenti. Kayak nggak tahu apa yang harus dilakukan saat itu.

Walaupun setelah aku pikir-pikir, dalam posisi ini aku masih jauh lebih beruntung dibanding teman-teman lain yang penelitiannya terhambat, yang sempro/semhasnya ditunda, yang gabisa konsul sama dosen, yang masih harus bayar kos, bayar ukt, dll. Malu dong, masa gini doang aku sambat?

Aku percaya banyak hikmah yang bisa diambil dari pandemi ini. Mungkin semesta menyuruh kita untuk istirahat. Seperti kata Satria kepada Awan, "nafas sebentar, apa sih yang dikejar?" huehue

Dan bener aja. Aku dapat banyak hikmah luar biasa dari kondisi saat ini. Aku jadi bisa pulang ke rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarga lebih lama. Selain itu, apa-apa dipermudah. Aku dan teman-teman bisa daftar wisuda walaupun masih ada tanggungan yang belum selesai. Menurutku, itu adalah suatu berkah luar biasa yang belum tentu aku bisa dapatkan kalo nggak ada pandemi ini.

Percaya deh, kalo nggak ada pandemi pasti sampe sekarang masih antri konsul logbook wkwk.

* * *

Akhir kata, aku nggak bosan-bosannya mengingatkan (untuk kalian, untuk aku di masa depan): Nikmati prosesnya.

Proses kita jatuh, bangun, menyerah, kemudian bangkit lagi itu adalah salah satu pengalaman berharga yang nggak bisa kamu dapatkan dengan mudah.

Pelajaran tentang sabar, ikhlas, dan pantang menyerah tidak serta-merta bisa kamu dapatkan dalam satu dua hari. Mungkin sebulan, mungkin dua bulan, atau bahkan setahun atau bertahun-tahun seperti yang kita dan kalian lakukan sekarang ini.

Jadi, bersyukurlah kita bisa mendapatkan pelajaran berharga ini. Dan terlebih lagi, kalo kita nggak ngelewatin masa-masa ini aku gak bakal bisa sedekat dan seakrab ini dengan teman-temanku sekarang :’)


Setelah ini, kehidupan akan semakin berbeda lagi. Tidak perlu menyamakan langkah kaki kita dengan orang lain, karena langkah kaki tiap orang berbeda-beda. But it's okay. Cukup perkuat semangat, doa, dan ikhtiar, kita pasti bisa lalui ini bersama walaupun dengan jalan yang berbeda. Cheers 🍻

* * *

Masih ada beberapa cerita yang akan aku tulis di post berikutnya (yang entah bakal di publish kapan wkwk). Untuk kalian yang baca cerita ini sampai selesai, you're a champ! I luv u.

Comments