My Weekly Journal of KKN
Kalo LP2M nyuruh buat catatan harian, then im gonna make my own weekly journal instead.
Waktu mendengar kata “KKN”, apa yang pertama kali muncul di pikiran kalian? Hidup 45 hari di desa yang antah berantah, terpencil, terasingkan. Iyakan? Sama kok, pertama kali aku tau, aku kayak “wtf? Ngapain sih harus hidup di desa segala?”
Tapi karena ini matkul wajib, jadi mau nggak mau aku daftar juga wkwk. Aku baru ikut KKN semester ini karena semester kemarin harus penelitian. Waktu itu aku benar-benar nggak excited, apalagi waktu temen-temen cerita tentang pengalaman KKN mereka. Ada yang bertengkar hebat, ada yang cinlok, ada yang dijodohin dengan anak Pak Kades, ada yang mutung, dan banyak lagi.
28 Desember 2018, daftar pembagian kelompok akhirnya keluar. Waktu ngelihat namaku di deretan Situbondo sedangkan hampir semua temen-temenku di Bondowoso,.… aku cuma pasrah sambil menghela nafas. Huft :’))
Setelah itu aku langsung cari-cari tau tentang calon desaku. Untungnya, desaku sama dengan desa tempat Rhama KKN kemarin. Yah walalupun dia songong banget, tapi aku belajar banyak banget dari dia.
“Di sana bahasanya madura semua fet. Jadi jangan kaget”
“Oh oke gapapa”
“Sebenernya Panji itu kota kok fet. Tapi desamu itu emang paling pelosok”
“Oh…. Okey……..”
“Sinyal agak susah di sana. Indosat atau xl mungkin bisa, tapi agak susah juga”
“………”
Ya Allah setelah denger semua cerita dari Rhama aku makin nggak siap wkwkwkw :”)
To be honest, I was really on denial. Sebagai anak introvert, aku masih nggak bisa menerima kalo aku bakal tinggal di desa, jauh dari zona nyaman, harus tinggal 45 hari dengan orang yang nggak aku kenal sebelumnya, dan harus bersosialisasi dengan warga yang bahkan aku nggak tau siapa. Sampai di kepalaku muncul pikiran “Kalo temen-temen kelompokku nggak enak, pokoknya aku mau pulang tiap minggu gamau tau”
Bahkan H-1 penerjunan, aku masih di rumah sakit nemenin Baity opname sampe malem. Masih berkutat dengan free-wifi, AC-an, ngemil, nonton TV, dan menikmati semua hal lain yang nggak bakal bisa aku dapetin waktu KKN wkwk. Padahal waktu itu aku belum packing sama sekali.
Dan akhirnya perkataan Haidar sempet menyadarkanku.
“Mbak, anggep aja ini sebagai GV (Global Volunteer). Nggak ada bedanya kan sama KKN?”
Iya FYI, dulu aku pernah ikut Global Volunteer di Davao City, Filipina. Di sana, aku juga tinggal 6 minggu bareng orang yang nggak aku kenal sama sekali. Bahkan dari negara dan budaya yang berbeda sekali. Di sana juga dituntut buat bersosialisasi dan bahkan harus survive di tengah kerasnya kehidupan Filipina wkwk.
Kalo GV di luar negeri aja bisa, masak KKN yang cuma di dalem negeri gabisa?
. . .
Akhirnya tiba juga hari penerjunan. Pertama kali dateng ke posko, kita sudah disambut dengan banyak sekali cerita. Mulai dari poskonya yang panas (dan kamarnya nggak berpintu!), ditambah dengan panasnya atmosfer Situbondo, dan nggak ada sinyal. Pernderitaan nggak cuma sampe situ. Malamnya, tiba-tiba hujan deras dan mati lampu. Padahal posko kita cukup mistis. What a gud kombinesyen, huh?
Tapi untungnya, lama-kelamaan aku udah mulai menikmati semua keterbatasan ini wkwk. Karena nggak ada sinyal, temen-temen jarang pegang hp dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol di ruang tamu. Semua ada hikmahnya, bukan?
Di posko, kita nggak ada pembagian tugas yang bener-bener ketat sih. Pokoknya kalo rumahnya kotor, ya disapu. Kalo piring kotor numpuk, ya dicuci. Kalo ada yang bangun duluan, ya temennya dibangunin. Biasanya sih, yang bertugas sebagai Head Chef adalah Amel. Atika dan Say siap membantu dengan gesit. Kalo aku bagian cuci-cuci piring aja karena aku sadar diri gabisa masak :’)
Alhamdulillah, di sini aku diberi temen-temen kelompok yang luar biasa hebat. Seriusan ga boong. Memang, mereka bukan tipikal orang-orang yang rame dan heboh, yang bisa diajak ngopi dan keluyuran sampe pagi. Mereka juga bukan noise-maker yang bisa guyon-guyon mencairkan suasana di keramaian.
Walaupun begitu, aku nyaman bareng mereka. mereka bener-bener baik dan menyenangkan. Amel, anak bendebesah yang paling suka masak dan suka bikin rame di kelompok. Atika, anak paling medok yang jiwanya penyayang dan ibu-able banget. Say, anak yang keliatan kalem tapi ternyata sangat petakilan. Akmal, anak yang aku kira bakal cuek ternyata baik banget. Dan Mas Ressa, kordes tergajelas tapi diem-diem peduli sama anak-anaknya wkwk.
Semuanya punya karakter masing-masing, namun kita bisa saling melengkapi. Dan menurutku, justru perbedaan itu yang semakin menambah bumbu-bumbu cerita di kelompok kita. EAAAA.
apaan sih wkwk.
Ditambah lagi, kita cuma berenam. Pastinya tiap hari ketemu mereka mereka lagi. Ngapa-ngapain bareng. Hilang satu orang itu kerasa banget, rasanya rumah langsung sepiiii. We’re just like love and hate relationship. Kalo ketemu berantem mulu, tapi kalo hilang sebentar langsung khawatir.
Kalo ngelihat kelompok lain yang serba berkecukupan, kemana-mana deket, apa-apa gampang, rasanya kadang iri. Tapi kemudian aku inget lagi, nahkoda hebat tidak datang dari ombak yang tenang kan? Toh selama aku nyaman, semua pasti bisa dilewati dengan baik.
Setelah menjalani beberapa hari di sini, well, all I can say is: KKN is not as bad as I think before. Sometimes you need to go out from your comfort zone to understand that your world is not just a 3x4 m2 room, rite? Your world is much much bigger than that.
Dua minggu tinggal dan hidup bareng warga desa bikin aku sadar, ternyata masih banyak permasalahan yang nggak tampak kalo aku cuma diem diri di kos ataupun kampus. Masih banyak cerita dan budaya yang perlu aku eksplor.
Terima kasih teman-teman! Terima kasih warga Desa Klampokan atas sambutan hangat kalian. Sebuah permulaan yang baik. Semoga kedepannya bisa selalu begini, bahkan bisa lebih baik lagi hehe.
Semoga makin banyak cerita menyenangkan di minggu-minggu berikutnya. Stay tune :))
(((mon maap sinyalnya gak kuat buat upload foto, jadi tulisan aja wkwkwk)))
Waktu mendengar kata “KKN”, apa yang pertama kali muncul di pikiran kalian? Hidup 45 hari di desa yang antah berantah, terpencil, terasingkan. Iyakan? Sama kok, pertama kali aku tau, aku kayak “wtf? Ngapain sih harus hidup di desa segala?”
Tapi karena ini matkul wajib, jadi mau nggak mau aku daftar juga wkwk. Aku baru ikut KKN semester ini karena semester kemarin harus penelitian. Waktu itu aku benar-benar nggak excited, apalagi waktu temen-temen cerita tentang pengalaman KKN mereka. Ada yang bertengkar hebat, ada yang cinlok, ada yang dijodohin dengan anak Pak Kades, ada yang mutung, dan banyak lagi.
28 Desember 2018, daftar pembagian kelompok akhirnya keluar. Waktu ngelihat namaku di deretan Situbondo sedangkan hampir semua temen-temenku di Bondowoso,.… aku cuma pasrah sambil menghela nafas. Huft :’))
Setelah itu aku langsung cari-cari tau tentang calon desaku. Untungnya, desaku sama dengan desa tempat Rhama KKN kemarin. Yah walalupun dia songong banget, tapi aku belajar banyak banget dari dia.
“Di sana bahasanya madura semua fet. Jadi jangan kaget”
“Oh oke gapapa”
“Sebenernya Panji itu kota kok fet. Tapi desamu itu emang paling pelosok”
“Oh…. Okey……..”
“Sinyal agak susah di sana. Indosat atau xl mungkin bisa, tapi agak susah juga”
“………”
Ya Allah setelah denger semua cerita dari Rhama aku makin nggak siap wkwkwkw :”)
To be honest, I was really on denial. Sebagai anak introvert, aku masih nggak bisa menerima kalo aku bakal tinggal di desa, jauh dari zona nyaman, harus tinggal 45 hari dengan orang yang nggak aku kenal sebelumnya, dan harus bersosialisasi dengan warga yang bahkan aku nggak tau siapa. Sampai di kepalaku muncul pikiran “Kalo temen-temen kelompokku nggak enak, pokoknya aku mau pulang tiap minggu gamau tau”
Bahkan H-1 penerjunan, aku masih di rumah sakit nemenin Baity opname sampe malem. Masih berkutat dengan free-wifi, AC-an, ngemil, nonton TV, dan menikmati semua hal lain yang nggak bakal bisa aku dapetin waktu KKN wkwk. Padahal waktu itu aku belum packing sama sekali.
Dan akhirnya perkataan Haidar sempet menyadarkanku.
“Mbak, anggep aja ini sebagai GV (Global Volunteer). Nggak ada bedanya kan sama KKN?”
Iya FYI, dulu aku pernah ikut Global Volunteer di Davao City, Filipina. Di sana, aku juga tinggal 6 minggu bareng orang yang nggak aku kenal sama sekali. Bahkan dari negara dan budaya yang berbeda sekali. Di sana juga dituntut buat bersosialisasi dan bahkan harus survive di tengah kerasnya kehidupan Filipina wkwk.
Kalo GV di luar negeri aja bisa, masak KKN yang cuma di dalem negeri gabisa?
. . .
Akhirnya tiba juga hari penerjunan. Pertama kali dateng ke posko, kita sudah disambut dengan banyak sekali cerita. Mulai dari poskonya yang panas (dan kamarnya nggak berpintu!), ditambah dengan panasnya atmosfer Situbondo, dan nggak ada sinyal. Pernderitaan nggak cuma sampe situ. Malamnya, tiba-tiba hujan deras dan mati lampu. Padahal posko kita cukup mistis. What a gud kombinesyen, huh?
Tapi untungnya, lama-kelamaan aku udah mulai menikmati semua keterbatasan ini wkwk. Karena nggak ada sinyal, temen-temen jarang pegang hp dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol di ruang tamu. Semua ada hikmahnya, bukan?
Di posko, kita nggak ada pembagian tugas yang bener-bener ketat sih. Pokoknya kalo rumahnya kotor, ya disapu. Kalo piring kotor numpuk, ya dicuci. Kalo ada yang bangun duluan, ya temennya dibangunin. Biasanya sih, yang bertugas sebagai Head Chef adalah Amel. Atika dan Say siap membantu dengan gesit. Kalo aku bagian cuci-cuci piring aja karena aku sadar diri gabisa masak :’)
Alhamdulillah, di sini aku diberi temen-temen kelompok yang luar biasa hebat. Seriusan ga boong. Memang, mereka bukan tipikal orang-orang yang rame dan heboh, yang bisa diajak ngopi dan keluyuran sampe pagi. Mereka juga bukan noise-maker yang bisa guyon-guyon mencairkan suasana di keramaian.
Walaupun begitu, aku nyaman bareng mereka. mereka bener-bener baik dan menyenangkan. Amel, anak bendebesah yang paling suka masak dan suka bikin rame di kelompok. Atika, anak paling medok yang jiwanya penyayang dan ibu-able banget. Say, anak yang keliatan kalem tapi ternyata sangat petakilan. Akmal, anak yang aku kira bakal cuek ternyata baik banget. Dan Mas Ressa, kordes tergajelas tapi diem-diem peduli sama anak-anaknya wkwk.
Semuanya punya karakter masing-masing, namun kita bisa saling melengkapi. Dan menurutku, justru perbedaan itu yang semakin menambah bumbu-bumbu cerita di kelompok kita. EAAAA.
apaan sih wkwk.
Ditambah lagi, kita cuma berenam. Pastinya tiap hari ketemu mereka mereka lagi. Ngapa-ngapain bareng. Hilang satu orang itu kerasa banget, rasanya rumah langsung sepiiii. We’re just like love and hate relationship. Kalo ketemu berantem mulu, tapi kalo hilang sebentar langsung khawatir.
Kalo ngelihat kelompok lain yang serba berkecukupan, kemana-mana deket, apa-apa gampang, rasanya kadang iri. Tapi kemudian aku inget lagi, nahkoda hebat tidak datang dari ombak yang tenang kan? Toh selama aku nyaman, semua pasti bisa dilewati dengan baik.
Setelah menjalani beberapa hari di sini, well, all I can say is: KKN is not as bad as I think before. Sometimes you need to go out from your comfort zone to understand that your world is not just a 3x4 m2 room, rite? Your world is much much bigger than that.
Dua minggu tinggal dan hidup bareng warga desa bikin aku sadar, ternyata masih banyak permasalahan yang nggak tampak kalo aku cuma diem diri di kos ataupun kampus. Masih banyak cerita dan budaya yang perlu aku eksplor.
Terima kasih teman-teman! Terima kasih warga Desa Klampokan atas sambutan hangat kalian. Sebuah permulaan yang baik. Semoga kedepannya bisa selalu begini, bahkan bisa lebih baik lagi hehe.
Semoga makin banyak cerita menyenangkan di minggu-minggu berikutnya. Stay tune :))
(((mon maap sinyalnya gak kuat buat upload foto, jadi tulisan aja wkwkwk)))
semangat kkn fettyyy😆
ReplyDelete